Serbuan pasukan elite Israel beberapa puluh tahu yang yang lalu tepatnya di tahun 1976 mengisahkan pembebasan 257 penumpang Air France sebagai sandera di Entebe, Uganda yang paling dramatis dan telah menjadi kisah populer sampai sekarang. Dalam aksi terornya, melibatkan organisasi terororis kelas dunia saat itu, Popular Front the Liberation of Palistine ( PFLP), dan keterlibatannya Presiden atau sang diktator Uganda Idi Amin, membuat pembebasan ini bertambah seru. Entebe, sebuah bandara di negara Uganda dan sebagai negara pendukung pembajakan yang letaknya sekitar 370 Km dari negara Israel yang mayoritas para sandera berasal. Hal inilah yang menuat pasukan elite Israel geregetan untuk menyelesaikan pembebasannya.
Pada saat itu tepatnya tanggal, 27 Juni 1976 sedikitnya seratus warga Israel ikut dalam penerbangan liburan dari Tel Aviv menuju Athena dan menurut rencana penerbangan dilajutkan ke Paris. Di dalam penerbangannya, tak satupun penumpang yang menyaka bahwa diantara penumpang ada tiga pria dan satu wanita bersenjata telah mengalihkan arah liburan mereka.
Disaat menikmati penerbangannya, tiba-tiba seorang laki-laki mengeluarkan nada ancaman melalui intercom terhadap para penumpang, “Kami orang Palestina, jika kamu duduk tenang dan mengerjakan apa yang saya perintahkan, tak seorangpun akan disakiti. Namaku Ahmed el Kubesi, anggota komando Che Guevara Jalur Gaza, satu unit dibawah PFLP”. Demikian ancaman ini dikeluarkan saat pesawat jenis Airbus itu baru saja mengudara dari bandara Athena, persinggahan pertamanya setelah Tel Aviv. Ternyata satu dari pembajak sudah berdiri di belakang cockpit dengan pistol menempel di kepala kapten pilot. Pesawat tidak lagi mengarah ke Paris, namun menuju bandara Benghazi, Libya. Di Benghazi, pesawat mengadakan refuel dan menurunkan satu penumpang yang sedang hamil. Sembilan jam kemudian, pesawat terbang kembali melewati Mesir, Sudan, lalu mendarat di bandara Entebbe, Uganda. Drama besar baru saja dimulai.
Dengan kondisi demikian, Perdana menteri Yitzhak Rabin, juga menteri pertahanan Shimon Peres pada saat itu dibuat ketakutan dengan ancaman para pembajak yang menuntut dibebaskannya 53 pejuang Palestina yang ditawan Israel. Terlebih di Entebbe, sedikitnya seratus warga Yahudi Israel sedang menunggu proses eksekusi. Kesemuanya ini serba dilematis bagi Israel. Menolak berarti membiarkan warganya mati di tangan teroris. Mengabulkan tuntutan, nantinya akan terjadi ratusan bahkan ribuan kasus pembajakan seperti di Entebbe. Pemerintah Israel pada saat itu hanya punya waktu 4 hari dalam menetukan pilihannya antara melakukan operasi pembebasan atau membiarkan warganya mati dibantai. Israel meyakini, organisasi teroris internasional berada dibelakang drama tersebut.
Sebelum melakukan aksinya, kelompok teroris telah merancang dengan sangat rapi pada Minggu dini hari, 27 Juni 1976, saat tiga pria dan satu wanita bertemu di sebuah apartemen di Kuwait City. Dalam pembajakkannya, dipimpin seorang pengacara muda berkebangsaan Jerman, 28 tahun, yang jenius sekaligus teroris berbahaya, bernama Wilfred Boese. Orang ini sangat dekat hubungannya dengan teroris paling top saat itu, Carlos “The Jackal” Ramirez. Carlos sebagai penghubung antara Boese dengan PFLP pada tahun 1974. Kelompok pembajak tersebut terdiri dari, dua orang Palestina yang tinggal di Kuwait dan seorang gadis Jerman berusia 24 tahun, Gabrielle Kroecher Tiedemann. Gadis ini telah bergabung dengan teroris sejak masih belia sehingga tek heran lagi bila ia tumbuh menjadi wanita yang kejam dan berbahaya. Dekade 1976, Tiedemann mulai bergabung dengan PFLP dengan nama sandi Kalimiri. Keempat orang inilah yang direncanakan sebagai pelaksana aksi pembajakan Air France nomor penerbangan 139 dengan rute Tel Aviv-Athena-Paris. Adapun latihannya, mereka laksankan selama dua bulan secara keras, dan pada saat itu juga sebagai hari pembuktiannya mereka.
Dari apartemennya, mereka meluncur ke bandara dan terbang ke Athena. Dengan tiket kelas VIP yang sudah ada di tangan, Boese-Tiedemann yang telah tersembunyi dibalik wig barunya duduk-duduk di ruang tunggu internasional bandara Athena layaknya penumpang lainnya, untuk menunggu kadatangan pesawat nomor penerbangan 139 dari Tel Aviv. Sementara, kedua orang Palestina yang masing-masing telah membawa satu kaleng berisi dua pistol otomatis Czech 7.65 mm dan dua granat, masuk lewat ruang transfer penumpang agar terhindar dari pengecekan. Setelah meyakini bahwa kedua orang Palestina sudah ada di dalam, Boese dan Tiedemann pun menyusul. Selama didalam toilet ruang tranfer penumpang itulah, Boese menerima satu pistol dan Tiedemann menerima satu pistol dan dua granat. Kedua orang Palestina masih dengan satu kaleng berisi senjata yang tersisa. Dengan taktik jitu, loloslah mereka ke dalam pesawat yang mereka incar.
Sikap Idi AminSekian jam penerbangan yang penuh ketegangan, akhirnya pesawat mendarat di bandara Entebbe, Uganda. Para penumpang yang masih harap-harap cemas, akhirnya agak sedikit lega melihat pintu pesawat telah terbuka dan mereka dipersilakan untuk keluar. Barisan pasukan Uganda yang berjaga-jaga dengan senjata otomatis juga membuat kepanikan mereka sedikit reda. Sehingga para penumpang berjalan dengan teratur menuju sebuah gedung tua yang berada di bandara Entebbe.
Namun betapa terkejutnya 257 penumpang tersebut saat melihat Boese dan grupnya keluar dari pesawat dengan tawa dan sorak gembira kepada para prajurit Uganda. Ternyata keberadaan prajurit itu bukan untuk membebaskan mereka. Melainkan para prajurit Uganda tersebut justeru mendukung gerakan Boese. Para sandera lebih yakin lagi, pada saat ditempatkan di dalam bangunan gedung tua, senjata-senjata otomatis prajurit Uganda diarahkan ke para penumpang. Sehingga para penumpang menyadari kalau dirinya setatusnya masih menjadi sandera bahkan tersandera oleh kekuatan yang lebih hebat.
Selang beberapa saat kemudian, sebuah helikopter VVIP mendarat di dekat bangunan tua tempat penumpang disekap. Turun dari Helikopter seorang pria berkulit hitam separoh baya berjalan keluar diikuti seorang bocah kecil berusia 4 tahun. Semua pasukan memberi penghormatan kebesaran kepada pria yang kemudian berjalan menuju ruangan sandera itu. Dengan pengawalan ketat, pria itu berkata dihadapan semua penumpang, “Kalian pasti tidak tahu nama saya. Tapi saya yakin kalian pernah mengenal dan mendengar nama saya. Saya adalah Marsekal Dr. Idi Amin, Presiden Republik Uganda.” Lalu ia memeluk semua penumpang dengan hangat, “Kalian tidak perlu khawatir. Saya akan memperlakukan kalian seperti seorang ayah. Saya akan melihat kalian dibebaskan dan saya adalah orang baik-baik.”
Sampai hari Selasa, semangat para sandera semakin menurun, walaupun Presiden Idi Amin sudah menjenguknya 2 kali dan memberi harapan baik. Para sandera semakin khawatir dengan nasibnya saat mereka mulai melihat banyak gerilyawan Palestina berkeliaran dengan bebas di sekitar mereka bersama prajurit Uganda. Diluar pengetahuan para sandera, para tokoh kunci dibelakang drama pembajakan itu memang sudah berada di Entebbe. Mereka adalah Antonio Degas Bouvier, Haj Feiz Gaber, dan Idi Amin sendiri. Sama seperti Boese, Bouvier adalah orang dekat Carlos “The Jackal”. Bouvier ikut terlibat dalam operasi penculikan di olimpiade Munich dan pembunuhan kepala hipermarket Mark & Spencer yang Yahudi, Edward Sieff. Sedangkan Gabier adalah salah satu tokoh berdirinya organisasi radikal PFLP. Operasi pembajakan ini dikendalikan dari Somalia oleh pimpinan PFLP, Dr Wahddie Haddad.
Mulai hari Rabu, 47 sandera yang disusulkan 101 sandera lainnya diterbangkan ke Paris atas keputusan para pembajak, menyambut janji positif pemerintah Israel yang memberi harapan untuk melepaskan beberapa tawanan. Selama negosiasi ini, ternyata para pembajak mau mengundurkan batas akhir tuntutan mereka sampai Minggu malam. Namun betapa terkejutnya Israel melihat kenyataan yang ada di Paris. Ternyata semua sandera yang dibebaskan oleh pembajak, tak satupun dari warga Yahudi Israel.
Maka meledaklah amarah para petinggi Israel. Sehingga keputusan operasi militer akan segera dimulai, karena Israel meyakini bahwa mereka sudah pasti tidak akan mengabulkan tawarannya.
Serbuan Udara DimulaiMelesetnya negosiasi selanjutnya, Panglima AU Marsekal Beni Peled pada hari Rabu, memaparkan sebuah rencana penyerbuannya ke Entebbe bila sewaktu-waktu dibutuhkan. Menurutnya, Entebbe hanya bisa ditundukkan dengan serangan kilat. Sehingga serbuan udara menjadi pilihan utama. Mereka akan menyusupkan pasukan ke Entebbe, mengambil para sandera, dan menerbangkannya ke Nairobi. Setelah mengisi bahan bakar, pesawat akan terbang pulang ke Israel.
Dalam waktu singkat, Israel telah mengumpulkan pasukan elitnya di bawah komando Brigjen Dan Shomron. Sedangkan sebagai komandan pelaksana adalah Letkol Yonatan Netanyahu, yang akrab dipanggil Yoni. Yoni dan 180 anak buahnya hanya sempat berlatih sehari saja di gurun Sinai. Kebodohan yang pernah dibuat Idi Amin adalah menyuruh orang Israel untuk membangun bandara Entebbe dan ia cepat melupakannya. Sedangkan kebodohan pembajak adalah melepaskan beberapa sanderanya. Orang-orang itulah yang memberi keterangan inteljen yang lengkap tentang bandara Entebbe, termasuk dimana tempat tangki minyak, radar, posisi pasukan/pembajak, pesawat tempur dan saluran komunikasi. Pada hari Sabtu malam, tujuh hari setelah pembajakaan berlangsung, Operasi Entebbe pun dimulai.
Pada malam harinya, tiga buah C-130 menyusuri Laut Merah pada ketinggian rendah dan dalam formulasi dekat, sementara 20 km diatasnya rombongan pesawat tempur F-4 Phantom mengawalnya dengan penuh ketelitian dan kecermatan. Phantom hanya mengawal sampai di perbatasan dan kembali karena daya jelajahnya tidak mampu untuk mencapai Entebbe.
Pada saat yang sama juga telah terbang dua pesawat Boeing 707 yang disamarkan menjadi penerbangan komersial ke Nairobi LY 167. Kedua pesawat tersebut terbang dalam formulasi dekat pada ketinggian 10 km, sehingga radar Mesir, Saudi Arabia, dan Ethiopia hanya mendeteksi satu pesawat yang melintas di area mereka. Pada kenyataannya ada dua pesawat berbadan lebar yang melintas. Pesawat pertama adalah LY 167 yang sebagai rumah sakit terbang Israel yang akan mendarat di Nairobi. Pesawat kedua adalah pesawat beregistrasi militer 4XBY8 dengan nama sandi LY 169, yang akan berfungsi sebagai pos komando dan pengendali operasi Entebbe dan akan melindungi ketiga Hercules saat pesawat Phantom kembali ke pangkalannya. Didalam LY 169 ada Marsekal Peled dan wakil panglima AB Jendral Yekuti Adam mengawasi situasi ketiga Hercules yang sedang menyusuri lembah-lembah di perbatasan Ethiopia dan Kenya. Mereka saling berkomunikasi pada suatu frekuensi radio yang sangat rahasia dan anti sadap.
Pesawat LY 169 memisahkan diri di atas wilayah Sudan dan masuk ke wilayah udara Uganda dengan nama African Airways Boeing 707. Mengapa di atas Sudan? Karena radar Sudan pun sudah dirusak oleh agen-agen Israel. Seakan-akan sedang mengalami kerusakan, pesawat memasuki wilayah udara Uganda. Pesawat sengaja dibiarkan nampak pada layar radar bandara Entebbe. Penerbang LY 169 lalu melapor ke tower Entebbe, “Pesawat saya sudah tidak bisa dikendalikan dan akan mendarat darurat di Entebbe.” Dan tiba-tiba pesawat Boeing itu bergerak turun dan menghilang dari layar radar bandara. Petugas tower menyangka bahwa pesawat itu sudah jatuh di sekitar Danau Victoria yang terletak di 5 km kepanjangan landasan.
Selanjutnya, mereka mencoba contack keluar namun saluran telpon sudah mati. Pada detik sebelumnya, agen Israel telah memutus saluran telpon bandara. Agen lainnya bersiap di jalan antara bandara menuju markas Angkatan Perang Uganda dengan detonator yang siap diledakkan. Apa yang terjadi dengan pesawat LY 169 yang akan menjadi pos komando tersebut? Ternyata mudah saja. Penerbang merubah kecepatan pesawat dari 200 knot ke 296 knot. Pada kecepatan ini, radar Uganda tidak akan mampu mendeteksi Boeing 707. Pesawat tidak jatuh ataupun mengalami kerusakan. Ia terbang turun, lalu naik lagi di ketinggian 10 km dan berputar mengawasi tiga Hercules yang telah muncul dari kegelapan lembah. Belum habis keterheranan 3 petugas tower, tiba-tiba mereka mendengar radio berbunyi, “Tower, ini adalah penerbangan no. 166 yang membawa tawanan perang dari Tel Aviv. Dapatkah saya mendapat ijin mendarat?” Suara ini berasal dari salah satu pesawat Hercules yang sudah berada 5 km diujung landasan.
Selanjutnya, mereka mencoba contack keluar namun saluran telpon sudah mati. Pada detik sebelumnya, agen Israel telah memutus saluran telpon bandara. Agen lainnya bersiap di jalan antara bandara menuju markas Angkatan Perang Uganda dengan detonator yang siap diledakkan. Apa yang terjadi dengan pesawat LY 169 yang akan menjadi pos komando tersebut? Ternyata mudah saja. Penerbang merubah kecepatan pesawat dari 200 knot ke 296 knot. Pada kecepatan ini, radar Uganda tidak akan mampu mendeteksi Boeing 707. Pesawat tidak jatuh ataupun mengalami kerusakan. Ia terbang turun, lalu naik lagi di ketinggian 10 km dan berputar mengawasi tiga Hercules yang telah muncul dari kegelapan lembah. Belum habis keterheranan 3 petugas tower, tiba-tiba mereka mendengar radio berbunyi, “Tower, ini adalah penerbangan no. 166 yang membawa tawanan perang dari Tel Aviv. Dapatkah saya mendapat ijin mendarat?” Suara ini berasal dari salah satu pesawat Hercules yang sudah berada 5 km diujung landasan.
Petugas tower itu dikejutkan saat melihat tiga pesawat besar telah mendarat di kegelapan landasan. Dua petugas berusaha mengeplot letak jatuhnya pesawat LY 169, satu petugas berusaha menelpon ke direktorat penerbangan sipil untuk menanyakan ijin ketiga pesawat yang sudah nyelonong masuk ke Entebbe. Yang menambah mereka heran adalah saat melihat bahwa tiga pesawat yang datang bukan pesawat sipil, namun pesawat gemuk yang disamarkan dalam warna militer.
Di dalam pesawat, Yoni berdiri tegak di pintu keluar memandang anak buahnya. Sebuah mercedes hitam dikawal dua land rover telah siap bergerak bersama-sama keluarnya pasukan. Mobil itu adalah mobil palsu Presiden Idi Amin, untuk mengelabui musuh.
Aksi di Sasaran“Go!” teriak Yoni. Satu kendaraan land rover bergerak keluar diikuti mercedes, lalu land rover kedua. Kemudian, Ketiga mobil itu bergerak mendekat gedung tua bersama pasukan para yang dipimpin perwira muda berusia 30 tahun tersebut. Para pembajak dan pasukan Uganda tentunya sangat terkejut melihat Presiden datang malam-malam ke bandara dengan pesawat besar. “Bukankah Presiden sedang mengikuti konferensi di Mauritius?” tanya mereka dalam hati. Seorang pasukan Uganda mendekat ke mobil dan disambut dengan rentetan tembakan. Dia menjadi korban pertama dalam Operasi Entebbe.
Sesuai latihan yang hanya dilaksanakan pada hari Jum’at, pasukan hanya punya waktu 45 detik untuk mencapai ruangan para sandera. Latihan yang hanya sempat dilaksanakan itu terbayar sudah. Walaupun pasukan Uganda berusaha menghadang, pasukan Yoni yang menyerbu bagai air bah telah merangsek cepat. Melihat itu semua, Gabrielle Tiedemann meraih pistolnya dan membidik seorang prajurit yang sedang berlari di halaman gedung. Baru satu tembakan meletus, lusinan peluru telah menghunjam di badannya dari senapan otomatis pasukan Israel yang telah bermunculan. Wilfred Boese yang berada di dalam ruangan juga segera meraih senapan mesinnya setelah mendengar suara rentetan tembakan di luar gedung. Segera dia membidik para sandera. Saat jari-jemarinya siap menarik picu senapan, Boese sudah harus meregang nyawa oleh peluru pasukan Israel. Para sandera yang tidak tahu akan adanya operasi itu menjadi histeris. Untungnya, pasukan Israel langsung berteriak-teriak menggunakan bahasa Hebrew, “Kami akan membawamu pulang…!” berkali-kali teriakan terdengar.
Selain menyerbu gedung tua tempat sandera, dua unit pasukan dengan jeep bersenjata otomatis bergerak terpisah. Satu unit bergabung dengan agen Israel menutup jalan yang menghubungkan bandara ke markas angkatan perang Uganda. Unit yang lain menuju markas skadron Mig dan menanaminya dengan puluhan detonator. Dan sesaat kemudian terdengar suara ledakan dahsyat. Pesawat-pesawat Mig Uganda hancur berkeping-keping. Sebuah roket melesat cepat menghantam tower. Pasukan Uganda yang berhasil berkelompok terus mengadakan perlawanan sengit. Di atas gedung, sebuah granat meledak menyebabkan tewasnya 2 pembajak berkebangsaan Palestina. Mengelilingi ketiga Hercules, dokter-dokter bedah kelas satu bertiarap dengan senapan mesin. Selain mengevakuasi korban, merekapun mendapat tugas tambahan menjaga pesawat selama proses penyerbuan.
Setelah gedung tua dikuasai, Yoni terlihat bergerak keluar untuk melihat pasukannya. Tak ada yang menyangka sebuah senapan telah mengintipnya dari atas tower, “Ret…tet… tet… tet…” dan Yoni pun roboh. Peluru prajurit Uganda itu menembus punggungnya. Tim dokter yang ada di pesawat coba untuk menolongnya namun gagal. “Yoni tertembak !” teriakan itu menggema ke seluruh penjuru, ke pesawat pos komando yang terbang berputar di atas Entebbe, juga ke markas tertinggi di Israel. Namun demikian, operasi terus berlanjut. Pasukan Israel mengumpulkan semua sandera dan menghitungnya, 104 sandera dan 12 awak pesawat. Mereka semua digiring menuju pesawat dengan perlindungan barikade prajurit Israel.
Di seberang sana, di dalam pesawat Hercules ketiga, Brigjen Dan Shomron berusaha mengamankan pergerakan pasukan dan warga Israel menuju pesawat. Mereka sudah 53 menit berada di bandara Entebbe. Pasukan Uganda sudah kocar kacir. Beberapa prajurit Israel menghitung dan menghitung lagi jumlah sandera yang berhasil dibebaskan. Setelah jumlahnya lengkap, satu persatu dari tiga Hercules mulai bergerak meninggalkan Entebbe. Hercules terakhir adalah tempat Shomron berada. Saat pesawat terakhir ini bergerak ke landasan, moncong senapan mesin masih menyembul di pintu belakang pesawat yang sengaja di buka. Membuat pasukan Uganda takut untuk mendekat. Beberapa pasukan Uganda lari ke tower dan mematikan lampu landasan. Namun sia-sia juga usaha mereka. Lampu landasan memang mati, namun pesawat ketiga itupun mengangkasa meninggalkan Uganda menuju Nairobi, untuk kemudian meneruskan perjalanannya pulang ke Israel.
Di atas Danau Victoria, tiga buah Hercules sedang terbang rendah menuju Nairobi. Pada awalnya penerbang akan membuang mobil mercedes hitam Idi Amin palsu di danau ini. Namun mengingat besarnya jasa yang telah diberikan pada negara, mercedes hitam itu dibawa pulang ke Israel. Bukan untuk menjadi mobil palsu Idi Amin lagi, namun sebagai saksi sejarah. Di atas Laut Merah, dua skadron pesawat Phantom terbang bergerombol menyambut kedatangan 3 Hercules dan 2 Boeing-707 yang telah mencatat sejarah. Di bandara Ben Gurion, Tel Aviv, massa menyambut kedatangan para sandera dengan gegap gempita. Di hari Minggu tersebut, semua orang Yahudi serasa 10 senti lebih tinggi dari sehari sebelumnya. Dan pada hari yang sama, Idi Amin terbangun dengan sebuah kejutan paling dahsyat semasa kariernya (Rs – 113).
Aksi yang brilian
BalasHapusOperasi Entebbe emang hebat komentar balik ya ke blog saya www.goocap.com
BalasHapusgood expelnation
BalasHapusTaktik operasi Entebe ya cuma bisa 1x dipake.
BalasHapuscoba indonesia bisa kayak gini bebasin sandra di filipine
BalasHapusGod bless Israel
BalasHapusTak perlu heran,, bangsa pilihan memang di atas rata-rata. Sesuai janji Allah kepada Abraham
BalasHapusTak perlu heran,, bangsa pilihan memang di atas rata-rata. Sesuai janji Allah kepada Abraham
BalasHapusluar biasa israel
BalasHapusluar biasa israel
BalasHapusisrael YHWH bless you.
BalasHapus